Eyeliner: Garis antara Luka dan Kekuatan

Posted on

Eyeliner: Garis antara Luka dan Kekuatan

Eyeliner: Garis antara Luka dan Kekuatan

Untukmu, yang tak pernah benar-benar membaca surat-suratku.

Aku ingat, dulu, aku selalu kagum padamu. Kamu, dengan segala kesederhanaanmu, selalu tampak begitu…utuh. Sementara aku, bersembunyi di balik riasan tebal, mencoba menambal retakan yang tak kasat mata. Eyeliner adalah salah satu tamengku. Sebuah garis hitam pekat yang kupakai dengan harapan bisa menyembunyikan mata sembabku, menyamarkan lelahnya jiwaku.

Aku masih ingat pertama kali aku mencoba eyeliner. Aku masih remaja, baru patah hati untuk pertama kalinya. Rasanya seperti dunia runtuh. Air mata mengalir deras, meninggalkan jejak merah di pipiku. Aku merasa begitu rapuh, begitu terbuka. Di saat itulah, aku menemukan eyeliner milik ibuku.

Dengan tangan gemetar, aku mencoba mengaplikasikannya. Hasilnya tentu saja berantakan. Garisnya tebal sebelah, miring, dan belepotan di mana-mana. Tapi anehnya, aku merasa sedikit lebih baik. Seolah-olah garis hitam itu adalah perisai yang melindungiku dari dunia luar. Seolah-olah aku bisa menyembunyikan kesedihanku di balik tatapan yang lebih tegas.

Sejak saat itu, eyeliner menjadi bagian tak terpisahkan dari diriku. Aku memakainya setiap hari, bahkan saat aku tidak ke mana-mana. Aku memakainya saat aku merasa sedih, saat aku merasa marah, saat aku merasa tidak percaya diri. Eyeliner adalah caraku untuk menghadapi dunia.

Aku belajar berbagai macam teknik. Dari garis tipis natural untuk sehari-hari, hingga winged liner dramatis untuk acara-acara khusus. Aku mencoba berbagai macam merek, dari yang murah meriah hingga yang mahal dan mewah. Aku bereksperimen dengan berbagai macam warna, dari hitam klasik hingga biru elektrik.

Aku ingat, kamu pernah bertanya, "Kenapa kamu selalu pakai eyeliner? Kamu cantik kok tanpa itu." Pertanyaanmu membuatku terkejut. Aku tidak tahu bagaimana menjawabnya. Aku tidak ingin kamu tahu alasan sebenarnya. Aku tidak ingin kamu melihat kerapuhanku. Aku hanya tersenyum dan berkata, "Aku suka saja."

Seiring berjalannya waktu, eyeliner bukan lagi hanya sekadar tameng bagiku. Ia menjadi bagian dari identitasku. Ia menjadi cara untuk mengekspresikan diri. Ia menjadi cara untuk menunjukkan kepada dunia bahwa aku kuat, bahwa aku berani, bahwa aku tidak akan menyerah.

Aku mulai bermain dengan berbagai macam gaya. Aku membuat garis yang lebih tebal, lebih panjang, lebih dramatis. Aku menambahkan glitter, eyeshadow, dan bahkan stiker kecil untuk menciptakan tampilan yang unik dan menarik perhatian.

Aku menyadari bahwa eyeliner bukan hanya tentang menyembunyikan sesuatu. Ia juga tentang menonjolkan sesuatu. Ia tentang menonjolkan keindahan mataku, menonjolkan kepribadianku, menonjolkan kekuatanku.

Aku mulai mendapatkan pujian dari orang-orang di sekitarku. Mereka bilang, mataku terlihat lebih hidup, lebih bersemangat, lebih menarik. Aku merasa bangga. Aku merasa dihargai. Aku merasa bahwa aku akhirnya menemukan diriku sendiri.

Tapi, tentu saja, ada kalanya aku merasa lelah. Lelah dengan semua riasan ini. Lelah dengan semua topeng yang harus kupakai. Aku merindukan saat-saat ketika aku bisa menjadi diriku sendiri, tanpa harus khawatir tentang bagaimana penampilanku.

Ada saat-saat di mana aku ingin menghapus semua riasan ini, termasuk eyelinerku, dan menunjukkan kepada dunia wajahku yang sebenarnya. Wajahku yang penuh dengan bekas luka, wajahku yang penuh dengan keraguan, wajahku yang penuh dengan harapan.

Tapi aku tahu, aku belum siap. Aku masih membutuhkan eyelinerku. Aku masih membutuhkan tamengku. Aku masih membutuhkan cara untuk menghadapi dunia.

Mungkin, suatu hari nanti, aku akan cukup berani untuk melepaskan semua ini. Mungkin, suatu hari nanti, aku akan bisa mencintai diriku sendiri apa adanya, tanpa harus bersembunyi di balik riasan.

Tapi untuk saat ini, eyeliner adalah sahabatku. Ia adalah teman setiaku. Ia adalah bagian dari diriku.

Aku ingat suatu malam, setelah pertengkaran hebat denganmu, aku duduk di depan cermin dengan air mata berlinang. Aku merasa begitu hancur, begitu tidak berdaya. Aku ingin sekali meneleponmu, memohon maafmu, tapi aku tahu itu tidak akan ada gunanya.

Dengan tangan gemetar, aku mengambil eyelinerku. Aku menggambar garis tebal di kelopak mataku. Aku menggambar garis yang lebih tebal dari biasanya. Aku ingin menutupi semua kesedihanku, semua rasa sakitku.

Tapi anehnya, kali ini, eyeliner tidak membantu. Air mata terus mengalir, membasahi pipiku. Garis hitam itu luntur, meninggalkan jejak yang berantakan.

Aku menatap diriku di cermin. Aku melihat seorang wanita yang lelah, seorang wanita yang terluka, seorang wanita yang kehilangan arah.

Di saat itulah, aku menyadari sesuatu. Aku menyadari bahwa eyeliner bukanlah solusi untuk semua masalahku. Ia hanyalah alat bantu. Ia hanyalah cara untuk sementara waktu menutupi lukaku.

Aku menyadari bahwa aku harus menghadapi masalahku yang sebenarnya. Aku harus menyembuhkan lukaku. Aku harus menemukan arah hidupku.

Aku menghapus semua riasan di wajahku. Aku membersihkan air mataku. Aku menatap diriku di cermin.

Kali ini, aku tidak melihat seorang wanita yang lemah dan tidak berdaya. Aku melihat seorang wanita yang kuat, seorang wanita yang berani, seorang wanita yang siap untuk menghadapi dunia.

Aku tersenyum. Aku tahu, perjalanan ini tidak akan mudah. Tapi aku juga tahu, aku tidak sendirian. Aku punya diriku sendiri. Aku punya kekuatanku sendiri.

Aku mengambil eyelinerku lagi. Kali ini, aku tidak menggambar garis yang tebal dan dramatis. Aku menggambar garis tipis yang natural. Aku ingin menonjolkan keindahan mataku, tapi aku tidak ingin menyembunyikan diriku yang sebenarnya.

Aku keluar dari kamar mandi. Aku berjalan menuju jendela. Aku melihat ke langit malam yang gelap.

Aku menarik napas dalam-dalam. Aku merasakan angin sepoi-sepoi menyentuh wajahku. Aku merasa bebas. Aku merasa hidup.

Aku tahu, aku akan baik-baik saja. Aku akan melewati semua ini. Aku akan menjadi wanita yang lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih bahagia.

Dan mungkin, suatu hari nanti, aku akan bisa berterima kasih kepada eyelinerku. Karena telah menjadi sahabatku, karena telah menjadi tamengku, karena telah membantuku menemukan diriku sendiri.

Terima kasih, eyeliner.

Untukmu, yang mungkin tidak akan pernah mengerti. Eyeliner bukan hanya tentang kecantikan. Ini tentang kekuatan, tentang keberanian, tentang bagaimana kita memilih untuk menghadapi dunia, meski dengan luka yang masih menganga. Ini adalah garis antara kerapuhan dan ketegaran, sebuah pengingat bisu bahwa kita bisa memilih untuk bangkit, meski air mata masih membekas. Dan mungkin, suatu hari nanti, aku akan cukup berani untuk menemuimu tanpa riasan apapun. Tapi untuk saat ini, biarkan eyeliner menjadi saksi bisu perjalanan panjangku.

Hormatku,

Aku yang (mungkin) pernah kamu cintai.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *